Minggu, 05 Juli 2015

Hal-hal yang membolehkan tidak puasa

HAL YG MEMBOLEHKAN TIDAK BERPUASA

1. Bepergian (Safar)

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi :”Maka barang siapa di antara kamu dalam keadaan sakit atau sedang bepergian maka dia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dihari lain”.

Safar yang memperbolehkan berbuka adalah safar yang berjarak minimal kira-kira 89 km. Safar ini, menurut jumhur (mayoritas) ulama, harus dilakukan sebelum terbitnya matahari. Jika dia telah berpuasa saat memulai perjalanan (karena dia memulai perjalanannya sehabis Subuh), maka dia tidak boleh membatalkan puasanya. Kendati begitu jika ternyata dia tidak mampu menuntaskan puasanya karena perjalanan yang amat melelahkan, maka dia boleh berbuka dan wajib mengqadha’nya, sebagaimana hadis riwayat Jabir: “Bahwasanya Rasulullah berangakat menuju Makkah pada ‘Aam al-Fath. Sampai masuk kawasan Kurâ’ al-Ghamîm (nama sebuah jurang di Asfân, dataran tinggi Madinah) Nabi masih berpuasa, maka para sahabat pun ikut berpusasa. Kemudian Rasul mendengar laporan bahwa “rombongan sudah merasa amat berat untuk meneruskan puasa, hanya saja mereka menunggu apa yang dilakukan Rasul”. Maka lantas Rasul mengajak meminum air sehabis Asar. Anggota rombongan pada memperhatikannya, ada sebagian yang ikut membatalkan puasa, dan sebagian lain ada yang masih tetap bertahan meneruskan puasanya. Setelah diberitahu bahwa masih ada yang berpuasa, maka Rasul pun bersabda: “Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang yang keras”. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang musafir boleh berbuka dalam perjalanannya sekalipun dia sudah memulai puasanya pada hari itu.Ulama Hambaliyah membolehkan musafir berbuka sekalipun dia baru memulai perjalanannya pada siang hari sebagaimana riwayat Abu Dawud dari Abu Bashrah Al-Ghiffâri yang pernah membatalkan puasanya dalam perjalanan, dan ia berkata bahwa “hal itu merupakan sunnah Rasul.”Ulama Syafi’iyah, ada satu syarat lagi yaitu hendaklah orang yang bepergian tersebut bukan termasuk orang yang selalu bepergian seperti sopir. Dia tidak boleh berbuka kecuali jika dia betul-betul menemui masyaqqah (kepayahan) yang luar biasa.Jumhur ulama selain Hanafiyah ada dua syarat lain lagi, yaitu:Perjalanan yang dilakukan bukan untuk kemaksiatan. (Hanafiyah memperbolehkan membatalkan puasa sekalipun perjalanan itu demi kemaksiatan)Tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan selama 4 hari.Ulama Malikiyah menambah syarat lain: berniat tidak berpuasa pada malam harinya.

***
Seandainya seorang musafir telah memulai puasanya sampai pagi hari, lantas ia hendak membatalkannya? Menurut jumhur ulama hal itu tidak jadi soal dan dia tidak berdosa. Namun tetap wajib mengqadha’nya sebagaimana Rasul pernah melakukan hal yang sama, seperti yang ditunjukkan hadis di atas. Sementar ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa hal itu tidak boleh dan ia berdosa jika melakukannya serta wajib mengqadha’nya dan membayar kafarat.

Mana yang lebih baik bagi musafir, berpuasa atau tidak? Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, berpuasa lebih baik jika tidak ada sebab yang mendesak untuk membatalkan puasa.

Hanafiyah menambahkan, bila sesama rombongan musafir pada membatalkan puasa, atau bekal mereka jadi satu, maka lebih baik membatalkan puasanya. Namun jika keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan puasa maka wajib hukumnya membatalkan puasa. Dalil yang melandasi pendapat mereka adalah firman Allah: “Dan berpuasalah karena itu lebih baik bagi kalian”.

Lain lagi dengan Hanbaliyah yang men-sunnatkan untuk membatalkan puasa dan memakruhkan berpuasa sekalipun tidak ada masyaqqah sama sekali, berdasar sabda Rasulullah (dalam hadis di atas) “Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang yang keras.” Diperkuat lagi dengan riwayat Syaikhain Bukhari dan Muslim bahwa Rasul bersabda: “Berpuasa dalam perjalanan bukanlah termasuk perbuatan yang baik”.

Menurut penulis (Wahbah al-Zuheily–pent), pendapat jumhur lebih bisa diterima, setidaknya karena dua alasan: (1) karena sesuai dengan firman Allah: “dan berpuasalah karena itu lebih baik bagi kalian”, dan (2) kisah dalam hadis di atas terjadi saat ‘Aam al-Fath, yaitu ketika terjadi perang.

***
Kalaupun musafir itu memperoleh rukhsah (kemudahan) tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan, secara implisit hal itu menunjukkan ia juga tidak boleh berpuasa wajib selain Ramadhan. Karena diperbolehkannya ia tidak berpuasa Ramadhan, itu sekedar kemurahan/kemudahan (rukhsah). Maka jika ia tidak mau mengambil kesempatan rukhsah tersebut ia harus kembali pada hukum asalnya: wajib berpuasa Ramadhan. Sehingga, jika seorang musafir atau orang sakit melakukan puasa selain Ramadhan pada saat itu, maka puasanya batal.

Beda dengan Hanafiyah, jika yang dilakukan adalah puasa wajib maka sah, karena jika musafir itu boleh berbuka maka dia juga berhak untuk melakukan puasa lain yang wajib atasnya.

***
Jika seorang musafir atau orang sakit tidak mau mengambil kesempatan rukhsahnya, lantas ia berpuasa dalam safarnya atau dalam keadaan sakitnya, apakah puasanya sah? Menurut keempat madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, puasanya diangap sah. Sementara ulama Dhahiriyah berpendapat bahwa puasanya dianggap batal.

2. Sakit

Sakit merupakan ‘udzur puasa berdasar firman Allah : “Barang siapa diantara kamu dalam keadaan sakit atau sedang bepergian …..”

Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi untuk melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa justru memperparah kondisinya, memperlambat kesembuhan, atau bahkan dikhawatirkan menyebabkan kematian. Maka jika seseorang menderita penyakit-penyakit ringan, semacam koreng, flu, tidak boleh membatalkan puasanya. Dan seseorang yang dalam keadaan sehat namun dia khawatir bila puasa akan menjadi sakit menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah (berbeda dari Syafi’iyah dan Hanbaliyah), dia dihukumi sama dengan orang sakit. Demikian pula jika seseorang mempunya dugaan kuat bila ia puasa maka akan mematikan fungsi salah satu panca inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan puasanya.

Ulama Hanafiyah menambahkan, dalam peperangan yang melelahkan seseorang boleh tidak berpuasa agar bisa menghadapi musuh dengan kondisi yang fit. Sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul pada ‘Aam al-Fath (penaklukan kota makkah).

Menurut jumhur ulama orang yang sakit tidak diwajibkan niat berbuka. Lain dengan ulama Syafi’iyah yang mewajibkan hal itu. Namun jika orang yang sakit tersebut tetap berpuasa maka puasanya dianggap sah.

***
Manakah yang lebih baik bagi orang yang sakit, tetap berpuasa atau boleh berbuka?
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah mereka boleh berbuka atau tetap berpuasa, sementara menurut Hanbaliyah sunnat bagi mereka berbuka dan makruh berpuasa. Di pihak lain Malikiyah mengatakan ada 4 ketentuan bagi puasanya orang sakit :

Jika ia tidak bisa sama sekali berpuasa, atau puasanya akan memperparah keadaan, atau bahkan menyebabkan kematiannya maka wajib baginya untuk berbuka.Jika ia bisa berpuasa walaupun dengan susah payah maka boleh baginya untuk berbuka.Jika ia mampu berpuasa namun masih khawatir akan kesehatannya, ada dua pendapat dalam hal ini, antara boleh dan tidak.Jika ia bisa berpuasa tanpa khawatir sedikitpun, maka menurut jumhur ulama ia tidak boleh berbuka.Jika seseorang yang sakit /musafir berniat puasa pada pagi harinya dan ternyata di siang hari ‘udzurnya hilang, maka dia tidak boleh berbuka, sementara jika ia tidak berpuasa di pagi harinya maka ia boleh tetap berbuka.

Jika seseorang meninggalkan puasa baik karena sakit atau ‘udzur yang lain dan dia belum mengqadha’nya hingga datang Ramadhan lagi, menurut Syafi’iyah dia wajib mengqadha’ dan membayar kafarah yaitu memberi makan sebanyak 1 mud untuk satu hari puasa yang ditinggalnya kepada orang miskin. Lain halnya jika ‘udzurnya tersebut belum berakhir hingga datang Ramadhan berikutnya, maka diwajibkan mengqadha’ saja.

Dan jika ia meninggal sebelum mengqadha’, puasanya digantikan oleh walinya. Namun jika walinya tidak mampu juga –untuk menggantikan puasanya si mayit– maka dia (wali) harus membayar kafarah dari harta peninggalannya (mayit). Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar ia berkata : “Barang siapa meninggal dan belum mengqadha’ Ramadhan yang ia tinggalkan maka hendaklah ia membayar kafarah.” Dan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Sayidah ‘Aisyah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa meninggal dan mempunyai tanggungan puasa, maka digantikan oleh walinya.”

3 & 4. Hamil dan Menyusui

Seseorang yang hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika ia khawatir akan kesehatan diri dan bayinya. Sama saja apakah bayi yang disusui adalah anak kandungnya atau anak susuan saja. Kekhawatiran disini baik berdasarkan diagnosa dokter atau pengalaman sendiri. Ketentuan seperti ini berlandaskan pada qiyas pada orang yang sakit atau musafir, dan hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa, mengqashar shalat, dan meringankan bagi perempuan yang hamil dan yang menyusui.”

Dan jika mereka (perempuan hamil dan menyusui) mengkhawatirkan timbulnya sesuatu yang kronis –akibat puasanya– maka haram baginya berpuasa.

Jika mereka berbuka (tidak berpuasa) apakah wajib mengqadha’ dan membayar fidyah?

Hanafiyah: mereka wajib mengqadha’ saja tanpa membayar fidyah.Syafi’iyah dan Hanbaliyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah, jika mereka khawatir atas keselamatan bayinya saja (tidak diri mereka).Malikiyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah bagi orang yang menyusui, dan hanya mengqadha’ saja bagi orang hamil.

5. Lanjut Usia

Berdasarkan ijma’ kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah 184. Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu hari.

Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi kesembuhannya, berdasar firman Allah “..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Hajj 78] Dan bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah.

6. Lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi.

Seseorang yang tertimpa lapar atau dahaga yang tak tertahankan lagi, sekiranya jika ia berpuasa akan menemui kepayahan luar biasa, maka ia boleh membatalkan puasa dan wajib mengqadha’nya. Bahkan ia wajib membatalkan puasanya jika menduga akan menemui madharrat sehingga merusak mekanisme (syaraf) tubuh. Firman Allah: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan. [QS. Al Baqarah 195]

7. Dalam keadaan dipaksa

Mayoritas ulama (berbeda dari Syafi’iyah) berpendapat bahwa seseorang yang dipaksa/diperkosa boleh membatalkan puasanya dan ia wajib mengqadha’nya. Dan jika ada seorang perempuan digauli secara paksa atau dalam keadaan tidur, ia (si perempuan) wajib mengqadha’nya puasanya.

Demikianlah beberapa hal yang memperbolehkan kita untuk membatalkan puasa.

***

Ketentuan-ketentuan lain

Pekerja berat
Imam Abu Bakar Al-Ajiri mengatakan bahwa jika ia mengkhawatirkan kondisinya karena pekerjaan berat yang ia lakukan maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha’nya. Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib berpuasa dan jika ternyata ditengah hari dia tidak mampu lagi melanjutkan puasanya, barulah ia membatalkannya dan wajib mengqadha’ nya. Sebagaimana firman Allah “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, karena sesungguhnya Allah Maha Peenyayang kepadamu.” [Surat Annisa 29]

Penyelamat seseorang yang tenggelam
Ulama Hanbali mengatakan bahwa ia boleh berbuka dan tidak wajib membayar fidyah jika tidak mampu menahan masuknya air, jika ia mampu menahannya maka ia tidak diperbolehkan berbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar